Jumat, 14 November 2014

Kata-Kata Bijak :

  1. Setyo budi utami murih teteping pangastuti : artinya percaya pada hati suci untuk memperoleh suatu hasil yang diinginkan
  2. memayu hayuning bawono : artinya ikut menjaga ketentraman di dunia
  3. karyanak tyasing sesami leladi sesamining dumadi : artinya kita hidup harus menciptakan kedamaian bersama karena kita hidup Cuma mengabdi pada kehidupan
  4. sak apik-apike wong yen weweh pitulungan kanthi dedemitan : artinya sebaik-baiknya orang adalah yang memberi pertolongan dengan cara diam-diam
  5. sopo suci adoh saka bebaya pati : siapa yang mempunyai pemikiran terpuji pasti akan di jauhkan dari bahaya
  6. seja ala seja pati : siapapun yang mempunyai niat jelek pasti akan mendapatkan balasan dari Tuhan
  7. ora ana jalma kang ora cacat : tidak ada manusia yang tidak pernah membuat kesalahan baik pada dirinya ataupun orang lain
  8. ngluruk tanpa bala,menang datan ngasorake : berani bukan karena ada teman,jika menang tanpa menghina musuhnya
  9. aja waton omong,nanging omongo sing nganggo waton : jangan asal bicara,tapi bicaralah yang memakai dasar

Rabu, 12 November 2014

KE-SH-AN

PSHT adalah harga mati bagi ku

Titakat Orang SH TERATE



Oleh: H. Tarmadji Boedi Harsono,SE
Kunci keberhasilan hidup itu sebenarnya hanya satu. Kalau kita dikasihi Allah SWT, hidup kita akan bahagia. Hanya manusia itu kurang bersyukur. Kita kadang-kadang hanya ngersulo (mengeluh), larut dalam kekecewaan. Dan kikir dalam berterima kasih. Tidak pernah puas dengan dengan apa yang sudah di dapat. Selalu merasa kurang dan kurang.
Di SH Terate tidak ada ajaran mengeluh. Tidak ada ajaran nggresulo. Kita dididik untuk menjadi orang yang pantang menyerah. Orang terate itu kalau bisa sing gedhe tirakate, harus banyak tirakat. Dalam hal apa saja. Gak kemrungsung (tenang). Tidak emosional, tidak gusar, tidak adigang adigung, adiguno (sombong).
Hari-hari orang SH Terate itu dipenuhi tirakat. Rialat dan selalu bersyukur menerima suratan Allah. Bagaimana cara orang SH Terate tirakat?
Tirakat orang SH Terate itu boleh dibilang sepanjang masa. Dalam kondisi apapun. Dalam situasi bagaimanapun. Contohnya saya ini. Saya ini yam as, ini mohon maaf. Saya orang berkeluarga. Saya punya istri, punya anak. Mestinya, sekarang ini saya mendampingi istri dan anak-anak. Tetapi mereka saya tinggal karena saya harus memenuhi kadang-kadang SH Terate. Saya tinggal istri saya sendiri, ini namanya tirakat, dalam sekala paling ringan. (saat memberi petuah ini posisi Ketua Umum SH Terate di padepokan, red).
Contoh lain, sehari ini saya sudah berniat hanya makan sekali. Biarpun saya dihadapkan makanan dari manapun saya tidak beli, saya tidak akan makan. Ada lagi contoh tirakat yang lain. Misalnya, selama satu minggu saya tidak akan makan kecuali jam 6 sore, saya baru makan. Kemudian malamnya saya berniat tidur paling lama 4 jam , besuknya lagi juga sudah tidak makan. Ini namanya jarang-jarangi, atau ngurang-ngurangi.
Niatnya bagaimana? Tidak perlu macam-macam. Niat tirakat untuk menjaring kasih Allah. Biar dikasihi Allah. Disayang Allah. Dengan begitu, kita akan merasa dekat dengan Allah. Sehingga hati ini merasa tenteram. Gelombang apapun yang dihadapi, dia akan mesem, gak akan gentar.
Tapi sayangnya orang sekarang ini sukanya instant. Seperti mie instant. Pingin makan mie tinggal masukkan ke gelas tuangkan air jadi mie, dan langsung makan tidak mau repot-repot. Tidak mau nanam dulu, tapi ingin langsung panen. Kalau mau nandur, mau nanam, hanya sedikit, tapi ingin panen yang banyak. Lho kalau begini, kamus dari mana kita bisa panen. Ndak ada kamus orang ndak mau nananm kok panen.
Kehidupan ini tersusun dari jalanan proses yang saling kait mengait. Sebelum hujan, prosesnya diawali dengan mendung. Sebelum malam, prosesnya diawali dari pagi dulu, kemudian siang, sore dan malam. Proses ini harus dilalui. Jangan seperti ingin makan mie instant. Dan kalau toh ingin makan mie instant, kita kan harus bekerja dulu agar dapat uang, kemudian dibelikan mie instant. Tidak serta merta, mie instant tersaji di depan mata, begitu kita menginginkannya.
Jadi kalau kita menginginkan sesuatu, harus berani tirakat. Berusaha keras, melalui tahapan demi tahapan. Melalui proses. Jangan hanya diam, duduk berpangku tangan dan hanya berdo’a saja. Laku itu tidak pas untuk orang SH Tetate. Kita tidak diajari seperti itu.
Kemudian, yang tidak boleh dilupakan, setiap proses membutuhkan keseimbangan keharmonisan. Sesuatu yang tidak seimbang, pasti menimbulkan dampak kurang baik. Karenanya, dalam kita bertirakat, keseimbangan proses ikhtiar lahiriah dan bathiniah harus dijaga. Tidak boleh berat sebelah.
Didikan di SH Terate itu mendidik jiwa. Yang kita bangun adalah jiwa itu butuh waktu. Butuh kesabaran dan kesempatan. Tidak sehari dua hari jadi. Tidak seperti membalik telapak tangan. Membangun fisik kuat bisa diformat dalam waktu sebulan dua bulan. Contohnya, melatih atlet. Melatih atlet bisa diformat dalam tenggang waktu tertentu. Dengan standarisasi. Tapi, membangun jiwa, memasukkan ajaran budi luhur, butuh waktu panjang dan terus menerus. Nah, yang kita bangun itu kedua-duanya. Jiwa dan raga. Lahiriah dan bathiniah. Kita diarahkan menjadi manusia berbudi luhur, tahu benar dan salah, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam jalinan persaudaraan kekal abadi.
Bagaimana orang berbudi luhur itu? Paling mudah orang berbudi luhur itu tidak dakwen salah open. Kita dididik untuk tidak mencampuri persoalan orang lain. Kita tidak usil. Selalu berfikiran positif.
Contohnya, ada kadang (warga SH Terate, red) datang ke rumah saya. Biarpun saya tahu dia berkeluarga, datang membawa anak wanita, saya tidak rebut, tidak akan nanya siapa perempuan itu. Kecuali kadang itu sendiri memperkenalkan. Paling banter saya hanya akan nanya, kepentingan apa dik.
Ini salah satu didikan kita. Kita tidak mau mencampuri urusan orang lain. Kecuali kalau orang itu, kadang itu minta saya menyelesaikan masalahnya. Minta tolong. Baru saya mohon maaf mengorek keterangan awal, sebagai bahan acuan dasar untuk mencarikan solusi atau jalan keluar.
Orang budi liuhur itu orang yang tidak iri dengki atas keberhasilan orang lain. Misalnya, ada orang lain bisa masuk pegawai negeri. Kita lantas dengki iri dan menduga-duga, ah itu berhasil karena membayar uang, istilahnya nyogok. Ndak boleh itu. Yang harus kita lakukan adalah, ikut senang melihat kadang SH Terate berhasil. Seneng jika melihat bisa beli mobil.
Jadi kita tabu ngurusi dan mencampuri urusan orang lain. Sebab itu akan membuat kita jadi resah sendiri. Hati jadi tidak tenang, tidak damai. Pancarkan sinar kasih. Yang ada di hati nurani kita hanya prasangka baik. Prasangka luhur. Sehingga, keluarnya pun luhur. Omong ya enak didengar. Gampang dimengerti. Ibarat ceret, kalau air dalam ceret itu jernih, ceretnya juga sering dibersihkan, dilap, keluar air dari gagangnya juga jernih. Tapi kalau airnya keruh, ceretnya tidak pernah dirawat, keluarnyapun keruh. Omong urakan seenaknya sendiri. Sikapnya juga urakan. Gak ngerti umpan papan (tidak paham situasi dan kondisi, red). Dupeh iso gelut (merasa memiliki kemampuan bisa berkelahi, red) tidak menghargai orang lain. Merasa dirinya paling super.
Yang saya sebut di atas itu, tirakat bathin. Karena batin kita juga butuh tirakat. Tirakat paling sederhana, selalu berpikiran baik pada orang lain. Gak demen ngrasani. Tidak suka mengumpat atau menggunjing. Jika ini yang kita lakukan, hati kita jadi bersih. Resik. Dan sihing Gusti Allah, pasti akan turun menyertai kehidupan kita.
Dikutip dari Tabloid Terate edisi 24

KI HADJAR HARJO OETOMO

Jiwa patriotisme yang tinggi ditunjukkan oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo, salah seorang Saudara Tertua Setia Hati, dengan bantuan teman-temannya dari Pilang Bango, Madiun dengan berani menghadang kereta api yang lewat membawa tentara Belanda atau mengangkut perbekalan militer. Penghadangan, pelemparan, dan perusakkan yang terjadi berulang-ulang sampai akhirnya ia ditangkap PID Belanda dan mendapat hukuman kurungan di penjara Cipinang dan dipindahkan ke Padang, Sumatera Barat. Setelah dibebaskan, Ki Hadjar Hardjo Oetomo yang telah mendirikan Setia Hati Pencak Sport Club yang kemudian mengaktifkan kembali perguruannya sampai akhirnya berkembang dengan nama Persaudaraan Setia Hati Terate.
Persaudaraan Setia Hati Terate dalam perkembangannya dibesarkan oleh RM Imam Koesoepangat murid dari Mohammad Irsyad kadhang (saudara) Setia Hati Pencak Sport Club (SH PSC) yang merupakan murid dari Ki Hadjar Hardjo Oetomo.
Sebelum menjadi kadhang SH dan mendirikan SH PSC, Ki Hadjar Hardjo Oetomo magang sebagai guru di SD Banteng Madiun. Tidak betah menjadi guru, bekerja di Leerling Reambate di SS (PJKA) Bondowoso, Panarukan dan Tapen. Tahun 1906 keluar dari PJKA dan bekerja menjadi Mantri Pasar Spoor Madiun di Mlilir dengan jabatan terakhir sebagai Ajudan Opsioner Pasar Mlilir, Dolopo, Uberan dan Pagotan (wilayah selatan Madiun). Pada tahun 1916 bekerja di pabrik gula Redjo Agung Madiun. Tahun 1917 masuk menjadi saudara SH dan dikecer langsung oleh Ki Ngabei Soerodiwirjo, pendiri Persaudaran Setia Hati. Pada tahun ini bekerja di stasiun kereta api Madiun hingga menjabat Hoof Komisaris. Tahun 1922 bergabung dengan Sarekat Islam dan mendirikan Setia Hati Pencak Sport Club di Desa Pilangbango, Madiun, yang kemudian berkembang sampai ke daerah Nganjuk, Kertosono, Jombang, Ngantang, Lamongan, Solo, dan Yogyakarta.
Tahun 1925, ditangkap oleh Pemerintah Belanda dan dipenjara di Cipinang, kemudian dipindahkan ke Padang, Sumatra Barat selama 15 tahun. SH PSC dibubarkan Belanda karena terdapat nama pencak. Setelah pulang dari masa tahanan mengaktifkan kembali SH PSC dan untuk menyesuaikan keadaan, kata pencak pada SH PSC menjadi pemuda. Kata pemuda semata-mata hanya untuk mengelabui Belanda agar tidak dibubarkan. Bertahan sampai tahun 1942 bersamaan dengan datangnya Jepang ke Indonesia.
Tahun 1942, atas usul saudara SH PSC Soeratno Soerengpati tokoh pergerakan Indonesia Muda, nama SH Pemuda Sport Club diubah menjadi Setia Hati Terate. Pada waktu itu SH Terate bersifat perguruan tanpa organisasi.
Tahun 1948, atas prakarsa Soetomo Mengkoedjojo, Darsono,dan lain-lain mengadakan konferensi di rumah Ki Hadjar Hardjo Oetomo di desa Pilangbango, Madiun. Hasil konferensi menetapkan Setia Hati Terate yang dulunya bersifat perguruan diubah menjadi organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate dengan diketuai oleh Oetomo Mangkoewidjojo dengan wakilnya Darsono. Kemudian secara berturut-turut:
· Tahun 1950, Ketua Pusat oleh Mohammad Irsyad.
· Tahun 1974, Ketua Pusat oleh RM Imam Koesoepangat.
· Tahun 1977-1984, Ketua Dewan Pusat oleh RM Imam Koesoepangat dan Ketua Umum Pusat oleh Badini.
· Tahun 1985, Ketua Dewan Pusat oleh RM Imam Koesoepangat dan Ketua Umum Pusat oleh Tarmadji Boedi Harsono.
· Tahun 1988, Ketua Dewan Pusat RM Imam Koesoepangat meninggal dunia dan PSHT dipimpin oleh Ketua Umum Tarmadji Boedi Hardjono sampai sekarang.
Untuk menjadi saudara pada Persaudaraan Setia Hati Terate ini, sebelumnya seseorang itu terlebih dahulu harus mengikuti pencak silat dasar yang dimulai dari sabuk hitam, merah muda, hijau dan putih kecil. Pada tahap ini seseorang tersebut disebut sebagai siswa atau calon saudara.
Selama dalam proses latihan pencak silat, seorang pelatih/warga (saudara SH) juga memberikan pelajaran dasar ke-SH-an secara umum kepada para siswa.
Setelah menamatkan pencak silat dasar tersebut, seseorang yang dianggap sebagai warga atau saudara SH adalah apabila ia telah melakukan pengesahan yang dikecer oleh Dewan Pengesahan. Dewan pengesahan ini termasuk saudara SH yang terbaik dari yang terbaik yang dipilih melalui musyawarah saudara-saudara SH. Proses kecer tersebut berlangsung pada bulan Syura. Adapun sarat yang harus disediakan dalam pengeceran antara lain: Ayam jago, mori, pisang, sirih, dan lain sebagainya sarat-sarat yang telah ditentukan.
Dalam proses pengeceran ini, kandidat diberi pengisian dan gemblengan jasmani dan rohani dan ilmu ke-SH-an serta petuah-petuah, petunjuk-petunjuk secara mendalam dan luas. Saudara SH yang baru disahkan tersebut, dalam tingkatan ilmu disebut sebagai saudara tingkat I (erste trap). Pada Persaudaraan Setia Hati Terate juga dibagi dalam tiga jenis tingkatan saudara yaitu saudara SH Tingkat I (ester trap), Tingkat II (twede trap), tingkat III (derde trap).
Pada Persaudaraan Setia Hati Terate diajarkan 36 jurus pencak silat yang merupakan warisan dari Ki Ngabei Soerodiwirjo di erste trap serta pelajaran ilmu ke-SH-an yang dapat diperoleh pada tingkatan twede trap dan derde trap. Jurus-jurus tersebut merupakan ramuan dari beberapa aliran pencak silat yang berada di nusantara, di antaranya dari Jawa Barat, Betawi (Jakarta), dan Minangkabau.
Khadang SH Terate tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan di beberapa negara seperti Belanda, Perancis, Belgia, Jerman, Amerika Serikat, Australia, Malaysia, Singapura, Vietnam, Brunei Darussalam. Secara administratif mulai dirintis pencatatan jumlah saudara pada tahun 1986. Sehingga jumlah saudara mulai tahun 1986 – 1999 sebanyak 108.267
Arti dan Makna Lambang PSHT

1. Segi empat panjang
– Bermakna Perisai.
2. Dasar Hitam
– Bermakna kekal dan abadi.
3. Hati putih bertepi merah
– Bermakna cinta kasih ada batasnya.
4. Merah melingkari hati putih
– Bermakna berani mengatakan yang ada dihati/kata hati
5. Sinar
– Bermakna jalannya hukum alam/hukum kelimpahan
6. Bunga Terate
– Bermakna kepribadian yang luhur
7. Bunga terate mekar, setengah mekar dan kuncup.
– Bermakna dalam bersaudara tidak membeda-bedakan latar belakang
8. Senjata silat
– Bermakna pencak silat sebagai benteng Persaudaraan.
9. Garis putih tegak lurus ditengah-tengah merah
– Bermakna berani karena benar, takut karena salah
10. Persaudaraan Setia Hati Terate
– Bermakna mengutamakan hubungan antar sesama yang tumbuh dari hati yang tulus, ikhlas, dan bersih.
– Apa yang dikatakan keluar dari hati yang tulus.
– Kepribadian yang luhur.
11. Hati putih bertepi merah terletak ditengah-tengah lambang
– Bermakna netral

Sabtu, 08 November 2014

Arti Persaudaraan dalam Islam dan PSHT


Membangun karakter atau yang lebih populer dengan istilah Character Building, merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi kita. Istilah character building biasanya banyak dijual di kursus-kursus kepribadian, bengkel-bengkel hati dan atau jiwa, khutbah-khutbah atau penyuluhan spiritual, bahkan sering didiseminasikan dalam seminar-seminar pengembangan diri, baik secara praksis-implementatif maupun teoritis-paradikmatik.
Lalu, muncul pertanyaan-pertanyaan kritis: Membangun karakter, Apa sich? Atau dalam dialek Jawa Timuran: Yo opo seh, character building iku? Dan sebagainya.
Sebagaimana yang telah kita pahami bersama, pengertian karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, seperti tabiat, watak, akhlak, atau budi pekerti yang merupakan distingsi (pembeda) antara seseorang dengan yang lainnya. Sedangkan pengertian membangun adalah proses pengolahan dan pembentukan suatu unsur atau materi yang sudah ada menjadi sesuatu yang baru dan berbeda. Dari kedua pengertian tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa membangun karakter adalah suatu proses pembentukan watak atau budi pekerti. Tentunya dalam pengertian yang positif, tujuan dari pembentukan watak atau budi pekerti di sini adalah menjadi lebih baik dan terpuji dalam kapasitasnya sebagai pribadi yang mempunyai akal budi dan jiwa.
Dalam perspektif yang lebih luas, membangun karakter bisa kita korelasikan dengan keberadaan kita sebagai keluarga besar Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) yang mempunyai tujuan utama membentuk manusia yang berbudi luhur, bisa membedakan antara yang benar (haq) dan salah (batil). Membangun karakter adalah sebuah ikhtiar dan harapan kita bersama untuk meningkatkan kualitas individu (kesalehan individu) dan kesalehan sosial sekaligus. Secara empiris, kesalehan individu dan kesalehan sosial sudah semestinya secara given terejawantah dalam perilaku sehari-hari,
baik secara individual behavior maupun social behavior. Ketika seorang Warga mencapai derajat saleh secara individu dan sosial, maka inilah sejatinya konsep besar tentang capaian tertinggi “berbudi luhur” atau yang sering penulis sebut dimillist ifg dengan akhlaqul karimah, insan kamil atau derajat kesempurnaan dalam bertingkah laku (fi’liyah), bertutur kata (qauliyah), kewibawaan dan bijaksana (taqririyah). Hal ini ditegaskan oleh Nabi SAW dalam haditsnya: Innama bu’itstu li utammima makaarimal akhlaq (Sesungguhnya Aku (Muhammad) diutus  untuk menyempurnakan akhlak yang mulia).
Karakter Warga yang Berbudi Luhur
Argumentasi tak terbantahkan yang dikonsep dan dirumuskan oleh para founding fathers (leluhur) Setia Hati Terate menemukan relevansinya dengan nilai-nilai Islam yaitu sama-sama menegaskan tujuan membentuk manusia yang berakhlaqul karimah atau berbudi luhur yang secara otomatis jelas bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Sebagaimana firman Allah SWT:
Yu’minuuna billahi wal yaumil akhiri wa ya’muruuna bil ma’rufi wa yanhauna ‘anil munkari wa yusaari’una fil khairaati wa ulaaika minashshalihin”
Artinya: Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, menegakkan kebenaran dan mencegah perbuatan munkar dan menyegerakan untuk berbuat kebaikan, mereka itulah orang-orang yang saleh (Q.S Ali Imran: 114)
Ini artinya bahwa semakin seseorang itu setia pada hatinya maka seseorang tersebut akan semakin taat dan patuh pada keimanan masing-masing agamanya. Melalui ajaran “setia hati” itulah diharapkan lahirnya bibit-bibit/generasi unggul yang mempunyai karakter kuat, cerdas, tangguh dan kredibel. Tentu untuk mendapatkan bibit unggul dan generasi yang cerdas membutuhkan “bayaran yang mahal”. Bayaran tersebut adalah kerja keras, sungguh-sungguh, konsisten dan yang terpenting adalah keteladanan. PSHT membutuhkan sosok panutan yang benar-benar istiqamah dan berkepribadian yang saleh secara individu maupun sosial. Konsistensi dan keteladanan disini artinya bahwa ketika seorang warga mengajak/mengamalkan ajaran berbudi luhur, tahu benar dan salah (amar ma’ruf nahi munkar), maka sebelum mengajak, warga tersebut harus sudah membenahi dirinya sendiri, emosi dan nafsunya sehingga dia berbudi luhur. Sesuai Firman Allah SWT:
“Yaa ayyuhalladzina ‘amanu lima taquuluuna ma la taf’aluun. Kabura maqtan ‘indallahi an taquuluu ma la taf’aluun”
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan/perbuat. Amat besar (menjadi kebohongan besar) kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (Q.S Ash Shaf: 2-3).   
Pertanyaan kritisnya sekarang adalah apakah secara de facto, realitas empiris di lapangan, warga-warga kita sudah seperti tersebut di atas? Mari kita semua bermuhasabah dan instrospeksi diri. Kalau ternyata sudah, maka syukur Alhamdulillah, tapi kalau itu belum, maka hal tersebut menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar, baik bagi individu masing-masing warga maupun organisasi.  
Dalam perspektif sejarah perkembangan peradaban Islam (Islamic civilization), mencetak generasi unggul yang mempunyai karakter kuat telah menjadi misi profetis (kenabian) Muhammad SAW ketika melakukan revolusi Mekkah dengan agenda reformasi total dari akhlak jahiliyah (keterbelakangan) menuju era pencerahan spiritual (spiritual enlightment). Dalam konteks kekinian, misi profetis Muhammad SAW tersebut terdapat benang merah dengan yang telah dimulai oleh PSHT pada awal abad 20 setelah sebelumnya diinisiasi oleh sosok yang akrab disebut Ki Ageng Soerodiwirjo tepatnya pada tahun 1903 dengan melakukan pencerahan kepada masyarakat melalui ajaran “keselamatan” Sedulur Tunggal Kecer (STK).
Pencerahan tersebut dilakukan dengan merumuskan tujuan besar didirikannya sebuah organisasi dengan sarana/media pencak silat yakni untuk membentuk manusia yang luhur budinya. Kemudian atas persetujuan Ki Ageng Soerodiwirjo, murid beliau, yang bernama Ki Hadjar Hardjo Oetomo beserta murid-murid lainnya memunculkan kata “Persaudaraan” di depan kata “Setia Hati” tepatnya pada 1917. Dan pada tahun 1922 Ki Hadjar kembali menegaskan pentingnya arti “Persaudaraan” dalam mengembangkan organisasi tersebut dengan mendirikan PSHT. Terlepas dari kontroversi soal sejarah dan pro kontra metode penulisannya, misi persaudaraan tersebut compatible dengan Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab shahihain yang artinya: “Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu sehingga ia mengasihi saudaranya seperti mengasihi dirinya sendiri”
Ditegaskan juga dalam Al Qur’an:
“Innamal mu’minuuna ikhwatun fa aslihuu baina akhawaikum wattaqullaaha la’allakum turhamuun”
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan rahmat. (Q.S Al Hujuraat: 10).       
Lalu diperkuat Firman Allah SWT:
“Wa’tashimuu bi habblillahi jami’an wa la tafarraquu wadzkuru ni’matallahi ‘alaikum idzkuntum a’daan fa allafa baina kuluubikum fa asbahtum bi ni’matihi ikhwanan. Wa kuntum ‘ala syafaahufratin minannari fa anqadzakum minha, kadzalika yubayyinullahulakum aayaatihi la’allakum tahtaduun”
Artinya: Dan berpegang teguhlah kalian semua pada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) saling bermusuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara: kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikian Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk (Q.S Ali Imran: 103).
Character Building dan Kecerdasan Emosi
Sebagai organisasi masyarakat, suka atau tidak suka, PSHT harus terus berbenah diri untuk mengikuti kodrat irama jamannya. Era modernism dan globalisasi menuntut PSHT---yang notabene sebagai salah satu pilar penting civil society di Indonesia---untuk siap berkontestasi di tengah-tengah masyarakat mondial (dunia). PSHT harus mengaktualisasikan dirinya dengan berkontribusi bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat. Agar mampu berperan secara optimal, PSHT harus membekali kapasitas para anggota (warganya). Bagaimana strategi  dan langkah-langkah pembangunan kapasitas dan karakter warga dilakukan? Banyak cara yang harus dilakukan untuk membangun kapasitas dan karakter warga PSHT.  Salah satu diantaranya adalah media pendidikan formal maupun informal. Bagaimana Warga didorong untuk terus mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga kuat tradisi intelektualismenya dan ahli dalam riset serta teknologi. Pendidikan formal merupakan salah satu instrumen signifikan dalam membangun karakter. Sebab dengan pendidikan formal secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada pengembangan kepribadian dan skill individu seseorang warga. Dengan pendidikan formal juga akan mengasah pola pikir (mindset) warga dalam mengolah kecerdasan emosi dan empatinya terhadap lingkungan sekitar dimana dia tinggal.
Penulis jadi teringat dengan apa yang pernah disampaikan Mas Sakti Tamat dalam sarasehan di tempat mas Liliek/HHM pada 27 Maret 2010 lalu, bahwa seorang warga PSHT adalah sosok yang berkarakter bijak, jujur, sabar, ikhlas dan amanah. Masyarakat dimana dia (warga) tersebut tinggal merasa gembira, nyaman, aman dan terlindungi. Dengan kata lain seorang warga PSHT adalah sosok yang “khairunnas anfa’uhum linnas” (sebaik-baik manusia adalah yang hidupnya bermanfaat untuk orang lain). Untuk membentuk karakter seperti itu perlu juga pendidikan informal dan aktualisasi diri. Pendidikan informal secara eksternal bisa diperoleh dalam pelatihan-pelatihan kepemimpinan, pendidikan pesantren, seminari, kefrateran, training ESQ dan kegiatan-kegiatan spiritual lainnya. Sedang untuk media aktualisasi diri, warga PSHT bisa terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti RT/RW, ormas, LSM, forum-forum keagamaan (pengajian), lembaga-lembaga keagamaan, persekutuan  gereja dan sebagainya.
Sedangkan secara internal, pendidikan informal ini bisa diperoleh melalui sistem atau tahapan-tahapan latihan siswa maupun warga. Di sinilah pentingnya diproduksi kurikulum latihan yang sistemik-komprehensif atau semacam modul yang mengacu pada 5 (lima) prinsip dasar pendidikan Setia Hati yaitu Persaudaraan, Olahraga, Kesenian, Beladiri dan Ke SH an. Masing-masing dibagi porsinya disesuaikan dengan kebutuhan.  
Terlepas dari semua cara/media pembangunan karakter seperti dijelaskan di atas, yang tak kalah pentingnya adalah satu hal yakni keinginan untuk berubah menjadi lebih baik. Ini harus menjadi keinginan kuat warga PSHT sebagai bentuk moral choice (keputusan moral) yang harus diambil. Pendidikan formal, pendidikan informal, pelatihan/training, penataran, sarasehan, aktualisasi diri di masyarakat hanyalah media atau instrumen semata. Semuanya tidak akan berarti apa-apa alias tanpa makna apabila di dalam diri individu warga PSHT tersebut tidak ada keinginan kuat untuk berubah menjadi lebih baik. Allah SWT berfirman:
“Innallaha la yughayyiru ma bi qaumin hatta yughayyiruu ma bi anfusihim”
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib sesuatu kaum, sehingga mereka sendiri yang merubahnya. (Q.S Ar Ra’d: 11).
Tuhan tidak akan merubah keadaan seseorang, selama seseorang tersebut tidak mau belajar dari sebab-sebab kesalahan dan kemunduran (keterbelakangan) mereka itu sendiri, baik sekarang maupun di masa lampau. Inilah pentingnya seorang warga memiliki karakter dan kecerdasan emosi. Bagaimana dia mengolah emosinya untuk mengambil keputusan, menentukan pilihan dan skala prioritas dalam hidupnya, memotivasi diri, membangun relasi/jaringan (networking) dan mengenali emosi diri sekaligus orang lain. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau sering akrab di sebut EQ sebagai “himpunan bagian dari kecerdasan social yang melibatkan kemampuan memantau perasaan social yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah dan menggunakan informasi untuk membimbing pikiran dan tindakan. Sedang menurut Daniel Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan intelegensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan social skill. Goleman menambahkan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari relasi social yang baik. Bahkan tegas Goleman, bahwa kecerdasan emosi itu jauh lebih berperan ketimbang IQ itu sendiri.
Dalam Islam diajarkan bahwa seseorang dalam kondisi bebas (memilih) untuk merubah karakternya. Bagi yang memiliki akhlak yang baik, mungkin saja karena atas perintah hawa nafsunya akan terjerumus ke dalam kenistaan (kebatilan). Sedang bagi yang memiliki akhlak yang kurang bagus, karena melalui penerangan dan bimbingan para ahli ma’rifat dengan berbagai instrospeksi diri (muhasabah) dapat mencapai puncak kesempurnaan (luhur budinya).
Catatan Penutup
Dalam konteks berbagai hal di atas, PSHT sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan, dengan demikian juga bisa berperan sebagai organisasi moral berbasis ajaran teologis (ketauhidan) yaitu ilmu yakin untuk mempertebal keimanan transendental kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kalau penulis boleh menyebut PSHT merupakan organisasi/lembaga dakwah. Oleh karenanya, mutlak meniscayakan peran para Warga (anggotanya) untuk menjadi juru dakwah di tengah-tengah masyarakat sampai terwujudnya masyarakat yang berbudi luhur yang bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Kita harus segera menyudahi friksi dan memutus mata rantai konflik internal yang tidak produktif termasuk diantaranya kontroversi mengenai ilmu-ngelmu, ajaran, falsafah dan sebagainya.
Dalam konteks politik kebangsaan yang lebih luas, warga PSHT sangat ditunggu kontribusinya bagi kemajuan bangsa dan Negara. Bagaimana warga PSHT memberikan jawaban atas problem-probem kebangsaan universal, seperti kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan korupsi  alias keserakahan. Bagaimana berbagai ketimpangan sosial di atas dicarikan solusinya. Untuk menjawab semua hal tersebut sudah menjadi keniscayaan kalau warga PSHT mutlak mempunyai karakter yang kuat. Dan ajaran “setia hati” mestinya bisa menjawab itu semua jika benar-benar dijadikan nilai-nilai dan prinsip dasar bagi kehidupan warganya. Masyarakat luas butuh bukti bukan janji-janji dan teori-teori yang utopis (melangit). Mari kita sama-sama berkompetisi membumikan “Memayu Hayuning Bawana”. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab

ARTI MORI AJI

ARTI MORI DALAM PENGESAHAN


Mori dalam SH Terate adalah lambang, tanda, bendera, yang menyatakan bahwa pemilik dari mori tersebut adalah warga Setia Hati Terate yang sah / yang sudah disahkan.
Mori berwarna putih1 melambangkan kesucian hati, dalam arti selalu berbuat kebajikan, tidak mempunyai sifat tercela, dan tidak mau pemiliki barang-barang-barang yang tidak sah / bukan miliknya. Warna putih juga melambangkan kepasrahan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mengenai panjang mori sebaiknya sakdedeg sakpengawe ( dapat dilebihi sedikit ) ini juga suatu lambang bahwa hendaknya cita-cita/kemauan kita harus diukur dengan kemampuan yang ada.
Mori harus disimpan di tempat yang bersih, rapi dan mudah dilihat, ini agar kita selalu teringat dan merasa terpanggil untuk berbuat baik dan berbudi luhur. Bila bepergian jauh mori pengesahan bisa dibawa ( untuk kendit ) ini untuk mengingatkan kita bahwa kita harus selalu menjaga kesucian hati ( sing sopo suci bakal adoh beboyo pati ). Juga seandainya kita dalam perjalanan jauh kita meninggal dunia (na’udzu billah…!!!) tiba-tiba, maka orang yang menemukan jasad kita tidak akan sulit mencari pembungkus jasad kita, karena kita sudah mempersiapkan pembungkus jasad kita sendiri dengan baik.
Kebiasaan di SH Terate mori biasanya dicuci pada bulan suro, tapi sebenarnya kita dapat mencuci mori sewaktu-waktu. Dan mencucinya dibilas dengan air kembang setaman yang baunya harum, maksudnya kita selalu menjaga keharuman nama kita, jadi semakin lama kita hidup haruslah tingkah laku kita semakin baik, tidak semakin jelek. Yang perlu diingat oleh sedulur Warga Persaudaraan Setia Hati Terate bahwa mori merupakan lambing kesucian dalam berprilaku.
Demikian penjelasan singkat mengenai mori pengesahan warga setia hati terate, semoga pengertian ini dapat diterima dengan baik dan tidak menimbulkan pandangan negative bagi orang yang kurang mengerti arti mori pengesahan tersebut.
Mori putih yang dimaksud adalah kain yang berwarna putih, mengenai bahannya boleh sembarang bahan, misalnya : beludru, katun, sutera, dll. Tapi biasanya mori yang dipakai pengesahan adalah mori dari bahan katun yang bahannya sederhana dan murah harganya, ini melambangan bahwa warga SH Terate harus dapat hidup sederhana.
Tes Kenaikan Sabuk Hijau ke Putih
Panitia Kegiatan

Dokumentasi Kegiatan PSHT RANTING BL.UMPU

Wejangan Dan Arahan Mas Jarwo (Ketua Kab.Cab.Way Kanan)
Siwa Hijau.Proses Kenaikan Calon Tes Putih
Mas Sis. Dokumenter Proses Kenaikan Siswa Hijau Ke.putih
Mas.Bambang (Ketua Ranting Bl.Umpu)